Wednesday, August 20, 2008

lomba menulis cerpen

halo-halo ada lomba menulis cerpen nich, ayo sapa aja yg mo ikut silahkan gabung dan kirim karyanya. sapa tau bisa menang. selengkapnya baca di sini atau di sini. hadiahnya gede lho... ayo jangan sampai ketinggalan...

Monday, August 11, 2008

Ingin Kusempurnakan Imanku

"Bagaimana Nore?" Itulah satu pertanyaan yang terus terngiang dalam telinga Nore Jane. Pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang Gus. Pertanyaan dari Gus Muham yang mengajaknya menikah. Dan karena pertanyaan tersebut Nore Jane berhari-hari tak dapat tidur dengan nyenyak.

Memang, Gus Muh adalah anak dari seorang ulama yang cukup ternama di negaranya. Namun dia termasuk satu anak yang berbeda di antara saudara-saudaranya yang lain. Gus Muh tak mau ikut dalam tradisi Islam yang selama ini dianut keluarganya. Meski bukan berarti dia menolak Islam secara keseluruhan. Dia lebih cenderung mengikuti budaya-budaya barat yang glamour.

Dalam hal pendidikan misalnya, Gus Muh tak mau masuk ke pendidikan keagamaan. Dia memilih pendidikan umum dan politik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau bahkan oleh swasta yang beraliran liberal. Sedangkan semua saudaranya menjalani pendidikan di sekolah ataupun kampus yang beradat budaya ketimuran dengan ilmu-ilmu keislaman yang cukup kental. Sehingga dengan sendirinya budaya yang diserap olehnya adalah budaya-budaya barat yang liberal pula. Dan pada akhirnya Gus Muh memutuskan untuk menjadi seorang politikus ketimbang menjadi seorang ulama seperti jejak keluarganya.

Suatu saat Gus Muh bertemu dengan seorang perempuan yang sontak menggetarkan jiwanya. Karena kesibukannya dalam dunia politik, Gus Muh tak sempat memikirkan untuk menikah dan menggenapi separuh agamanya yang mungkin hampir luntur. Ketika itu Gus Muh sedang berjalan-jalan untuk melihat perkembangan pembangunan di kotanya. Selain sebagai kepala pemerintahan dia juga termasuk orang yang mengagumi keindahan kotanya. Sebuah kota yang terletak di lereng pegunungan asri yang sejuk dan dengan tingkat pembangunan cukup maju. Banyak sekali gedung-gedung dibangun guna mendukung kemajuan kota.

Ketika perjalanan Gus Muh sampai di depan sebuah pasar kota, Gus Muh tak bisa menyembunyikan ketertarikannya dengan seorang perempuan yang baru pertama kalinya dia lihat itu. Meski pada awalnya tak mengetahui namanya, namun bagi seorang kepala pemerintahan bukan hal yang sulit untuk sekedar tahu nama dari warganya. Dengan bantuan pejabat bawahannnya dia mendapati bahwa nama perempuan yang menggetarkan jiwanya itu bernama Nore Jane. Dan pada hari-hari berikutnya Gus Muh menjadi sering meluangkan waktu untuk berjalan-jalan dan lewat pasar kota itu.

Nore Jane termasuk seorang muslimah yang cukup jelita. Bahkan bisa disejajarkan dengan model-model ternama di negaranya. Dengan paras wajahnya yang oval, hidungnya yang mancung juga sinar mata yang tajam memberikan pesona tersendiri saat beradu pandang yang pertama kalinya dengan Gus Muh.

Waktu itu Nore Jane baru pulang dari pasar kota. Tempat di mana dia membanting tulang untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

"Assalamu'alikum…." Gus Muh mencoba menyapa saat berpapasan dengan Nore Jane ketika itu. Dan dengan tatapan penuh penasaran, Nore Jane hanya memandang sesosok yang cukup dikenalnya sebagai kepala pemerintahan dan kini berhadapan dengannya. Pada akhirnya pun dia membalas salam yang baru saja didengarnya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah…." Dengan menundukkan kepalanya dia ucapkan dengan kelembutan suara yang dimilikinya.

Dan setelah pertemuannya dengan Gus Muh itu, entah mengapa pertemuan demi pertemuan terus saja berlanjut dengan Gus Muh. Dari pertemuan yang tidak disengaja, hingga pertemuan yang terkesan direncanakan oleh Gus Muh. Seiring dengan intensitas pertemuan itu, Gus Muh mulai tertarik dengan perempuan yang begitu memikat hatinya. Bahkan dia sendiri tak menyadari dengan siapa dia sedang kasmaran. Gus Muh tak menyadari bahwa perempuan yang memikat hatinya adalah seorang perempuan yang salah.

Sampai akhirnya Gus Muh tak mampu lagi menahan gejolak perasaannya itu. Dalam suatu kesempatan dengan segala keberaniannya Gus Muh mengungkapkan isi hatinya kepada Nore Jane. Tidak tanggung-tanggung karena Gus Muh langsung mengungkapkan keinginannya untuk menikahi Nore. Dan dengan begitu terkejutnya Nore Jane mendengar pengakuan laki-laki yang tak tau diri ini. Terlebih lagi Nore mengetahui bahwa Gus Muh adalah seorang kepala pemerintahan yang juga anak dari seorang ulama besar di kotanya.

Sejak awal Nore sudah mencium gelagat yang tidak baik dari perkenalannya dengan Gus Muh. Namun apa boleh dikata, aktivitas Nore yang berdagang di pasar menjadikan tak bisa menghindari pertemuan demi pertemuan dengan Gus Muh terus terjadi. Hingga akhirnya satu hal yang paling tidak diinginkannya itu terjadi.

Bagi Nore Jane hal ini merupakan sebuah penghinaan yang sangat luar biasa. Kenapa Nore merasa dihinakan, tidak lain karena Nore merasa dia telah gagal dalam menjaga kehormatan dirinya. Terlebih lagi dia gagal menjaga kehormatan keluarganya. Bukan apa-apa, namun saat itu Nore Jane adalah masih menjadi seorang isteri. Ya, meskipun suaminya hanyalah seorang yang tak berdaya untuk melakukan apa-apa. Tetapi Nore Jane termasuk istri yang taat kepada suaminya. Sehingga dalam keadaan apapun suaminya dia tetap mengabdikan diri kepada suaminya.

Nore Jane adalah istri yang cukup setia dari seorang laki-laki yang tak lagi berdaya melakukan apa-apa. Semenjak kecelakaan yang menimpa suaminya, dengan sendirinya Nore menjadi tulang punggung keluarganya. Mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Meskipun dia hidup hanya dengan seorang suaminya seorang. Namun dengan bekal ilmu agama yang telah ditanamkan oleh keluarganya, menjadikan Nore seorang muslimah yang tangguh dalam menghadapi segala ujian. Tidak sedikitpun dia mengeluh dengan apa yang dijalaninya.

Suatu hari sepulang dari pasar, Gus Muh telah menunggunya di jalan depan pasar. Gus Muh bermaksud untuk menanyakan tawarannya kepada Nore Jane tempo hari. Maka dengan segenap kegundahan hatinya Nore Jane mempersilahkan Gus Muh untuk singgah di gubugnya yang sederhana.

Sesampainya di rumah, Nore Jane mempersilahkan Gus Muh masuk dan duduk di ruang tamu yang tak dapat dikatakan lega. Setelah Nore Jane masuk untuk meletakkan segala perlengkapan untuk berdagangnya, dia kembali keluar dengan mendorong seorang laki-laki yang tampak tua dan lemah dengan kursi roda. Guna menjawab rasa penasaranya Gus Muh menanyakan siapa laki-laki yang di kursi roda itu. Dan dengan penuh kesabaran dan ketabahan Nore Jane memperkenalkan suaminya kepada Gus Muh.

"Perkenalkan ini suami saya Tuan, namanya Ibnu Syairozi." Dan dengan keterkejutan yang tak pernah diduganya, sehingga hal itu merubah raut wajah Gus Muh. Setelah kiranya cukup memperkenalkan suaminya kepada Gus Muh, Nore kembali mendorong suaminya ke dalam.

Beberapa saat kemudian Nore Jane kembali ke ruang tamu, Gus Muh kembali memulai percakapan di antara mereka. "Nore, kamu masih muda cantik pula, apa kau tidak malu dengan bersuamikan seorang yang telah tua dan lemah tak berdaya seperti itu? Maaf kalau hal ini menyinggung perasaanmu." Meskipun perlahan suara Gus Muh bagaikan petir dan guntur di siang bolong terdengar di telingan Nore Jane. Sebuah pertanyaan yang juga tak disangka, setelah beberapa hari yang lalu menawarkan sebuah ajakan untuk menikah dengannya. Sehingga sontak membuat Nore Jane memandang Gus Muh dengan penuh penasaran.

"Maksud Tuan ?" Nore Jane balik bertanya kepada Gus Muh yang menurutnya keterlaluan.

"Sekali lagi maaf jika apa yang aku katakan menyinggung perasaanmu. Namun dengan seorang suami yang terlihat tua dan lemah tak berdaya itu, apa engkau tidak malu ? Apa tidak lebih baik jika engkau memohon cerai dengan suamimu dan menikah lagi dengan laki-laki yang lebih baik dari dia ?" Kembali lagi kalimat demi kalimat Gus Muh memporakporandakan emosi Nore Jane. Bahkan kini ada nafsu dalam dirinya yang mendorong untuk melampiaskan kemarahan besar terhadap keturunan ulama besar yang tak tau diri ini. Dengan deru nafas yang semakin berat dan suara yang terbata karena emosi, Nore Jane memberanikan diri untuk bicara.

"Maaf Tuan, apakah menurut Tuan apa yang saya lakukan selama ini tidak baik ? Atau apakah menurut Tuan yang saya lakukan selama ini salah ? Lantas apa maksud Tuan dengan tidak mencabut permintaan Anda terhadap kesediaan saya untuk menikah dengan Tuan ? Apakah Tuan meminta saya untuk bercerai dengan suami saya, lantas mau menikah dengan Tuan itu sebagai sesuatu yang biak ?" Bertubi-tubi kalimat pertanyaan yang ditujukan kembali kepada Gus Muh meluncur dengan tanpa beban dari Nore Jane. Memang dengan kemampuan ilmu agama yang dimilikinya, Nore Jane sedikit menggetarkan pertahanan Gus Muh.

"Malu, malu kata Tuan? Malu dengan apa? Kenapa saya harus malu dengan memiliki suami yang saya sayangi dan cintai? Ingat Tuan, saya ini muslimah. Saya adalah seorang yang beriman." Kini kalimat-kalimat Nore Jane terdengar lebih santun. Karena dia telah mampu menguasai emosinya, sehingga dia tidak lagi dikuasai nafsu amarahnya. Dia terus melanjutkan pembicaraannya.

"Maaf Tuan, saya ini seseorang yang beriman Tuan. Saya ingin melengkapi keimanan saya dengan dua hal. Karena keimanan yang saya pegang ini terdiri dari dua hal itu. Yang pertama adalah syukur. Saya ingin melengkapi keimanan saya dengan bersyukur kepada Allah atas kecantikan yang dikaruniakan kepada saya ini. Karena tidak setiap wanita diberikan anugerah seperti saya. Dan mudah-mudahan dengan ibadah yang saya lakukan selama ini saya mampu membuktikan rasa syukur saya itu."

Gus Muh tak dapat mengungkapkan apa-apa lagi. Karena selama ini tak pernah mempelajari ilmu agama sejauh itu. Selama ini dia hanya mengetahui apa itu politik, apa itu pemerintahan. Karenanya ketika Nore Jane bertutur sedemikian gamblangnya dia tak sanggup untuk menyelanya. Bahkan desah nafasnya pun tak mampu menyela kata-kata Nore Jane.

"Tuan, saya benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Tuan. Sebagai kepala pemerintahan yang juga anak dari seorang ulama besar di kota ini, semestinya Tuan yang malu dengan kelakuan Tuan ini. Kenapa saya harus merasa malu dengan bersuiamikan seorang yang tak berdaya apa-apa ? Kenapa ?" Nore Jane kembali terbawa emosinya. Namun kini dia malah menitikkan air mata.

"Setelah saya bersyukur kepada Allah atas kecantikan yang dikaruniakan kepada saya, saya ingin melengkapi keimanan saya dengan satu hal lagi. Satu hal itu adalah kesabaran. Saya ingin melengkapi keimanan saya dengan kesabaran itu. Bersabar dalam menjalani kehidupan dengan memiliki suami seperti yang Tuan lihat. Kenapa saya harus malu dengan apa yang diberikan Allah kepada saya. Semestinya Tuan yang merasa malu, malu karena telah berusaha merusak keluarga orang lain. Kenapa tuan tidak malu karena telah meminta saya untuk bercerai dengan suami saya dan menerima ajakan menikah dengan anda? Apakah hal itu tidak membuat tuan lebih malu ketimbang saya?" Kata-kata Nore Jane benar-benar membuat Gus Muh tek dapat berkutik. Terlebih lagi dia tidak dibekali kemampuan ilmu agama yang cukup.

Akhirnya dengan tanpa membantah apa yang disampaikan oleh Nore Jane, Gus Muh mohon permisi kepada Nore Jane. Dengan muka yang hampir-hampir terlipat karena malu yang tak dapat disembunyikannya, Gus Muh pamit dan minta diri. Sambil mengucapkan beribu maaf yang tak dapat diverbalkan, Gus Muh mengucapkan salam. "Maaf jika apa yang saya lakukan telah melukai hati Nyonya. Assalamu'alaikum…." Gus Muh melangkah keluar.

"Wa'alikumsalam warahmatullah…" jawab Nore Jane singkat dan tetap diam ditempatnya semula. Setelah Gus Muham keluar rumah, kemudian Nore Jane bangkit dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Setelah itu dia kembali menemui suami tercintanya. Dia menangis dipangkuan suaminya dan dengan terbata-bata dia memohon maaf kepada suaminya atas apa yang telah menimpa keluarganya. Nore Jane benar-benar merasa telah gagal dalam menjaga kehormatan dirinya. Nore Jane merasa gagal dalam menjaga kehormatan keluarganya.


Kudus, 11 Agustus '08

Sunday, August 10, 2008

MASIHKAH ADA NASIONALISME

Memasuki bulan agustus yang kita kenal sebagai bulan kemerdekaan, bulan perjuangan dan bulan proklamasi kemedekaan Republik Indonesia. Karena pada bulan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad. Bulan di mana bangsa Indonesia terbebas dari cengkeraman bangsa lain.

Memasuki bulan agustus yang kita kenal sebagai bulan kemerdekaan, bulan perjuangan dan bulan proklamasi kemedekaan Republik Indonesia. Karena pada bulan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad. Bulan di mana bangsa Indonesia terbebas dari cengkeraman bangsa lain.

Mungkin kita tak tahu bagaimana beratnya perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Namun kita tak boleh melupakan jasa-jasa mereka. Karena tanpa pahlawan tak akan ada bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dan kini giliran kita untuk mengisi kemerdekaan ini dengan prestasi yang harus kita ukir demi memajukan bangsa dan negara ini.

Seperti biasanya menjelang hari kemerdekaan, setiap warga melakukan persiapan-persiapan guna memperingati hari yang bersejarah tersebut. Mulai dari melakukan kebersihan lingkungan, mengecat pagar rumah sampai memasang bendera juga umbul-umbul. Tidak hanya di perkotaan, peringatan ulang tahun negara ini dilakukan. Namun di desa-desa juga tidak ketinggalan dengan segala kesibukan menyambut kemeriahan dirgahayu Indonesia ini.

Suatu hari seorang bapak sedikit mengeluh ketika sedang mempersiapkan segala keperluan guna menyambut peringatan kemerdekaan kali ini. Beliau menyatakan sebuah ungkapan kemalasannya untuk memasang umbul-umbul. Ternyata hal itu karena tidak adanya perhatian dari warga lain untuk hal tersebut. Memang sebagian besar warga sekarang enggan untuk kembali memperingati hal-hal yang berhubungan dengan negara ini. Mereka enggan untuk memasang bendera tidak hanya pada peringatan hari kemerdekaan, namun juga pada peringatan hari-hari besar kenegaraan yang lain.

Itulah salah satu sisi warna kebernegaraan warga kita. Dan karena itulah banyak kalangan menyatakan bahwa nasionalisme warga negara kita telah luntur. Karena tidak adanya perhatian warga untuk turut memperingati hari-hari besar kenegaraan kita. Namun benarkah apa yang terjadi ini semata-mata lunturnya nasionalisme kita.

Jika kita telusuri lebih dalam, kita akan menemukan sebuah fakta yang sangat jauh berbeda. Karena sekitar lima belas tahu yang lalu, atau lebih tepatnya tiga belas tahun yang lalu tercatat begitu kuatnya rasa nasionalisme yang tertanam dalam diri setiap warga negara. Ya, peringatan kemerdekaan republik ini yang ke lima puluh tahun memberikan sebuah semangat tersendiri bagi mereka.

Pada masa itu terlihat begitu besarnya rasa nasionalisme dalam diri setiap warga negara. Setiap warga berlomba-lomba untuk ikut berpartisipasi dalam memperingati dan memeriahkan hari kemerdekaan yang ke setengah abad itu. Sejak memasuki awal bulan agustus, sudah banyak warga yang melakukan perbaikan-perbaikan di kampung masing-masing. Memasang bendera, umbul-umbul bahkan mereka juga membuat sebuah gapura selamat datang yang cukup megah di pintu masuk desa. Mereka juga mengadakan lomba-lomba antar kampung dalam rang memperingati hari kemerdekaan tersebut. Lalu kenapa hanya dalam waktu yang singkat semua itu dapat berubah. Bahkan dapat dikatakan bahwa rasa nasionalisme kita telah luntur.

Hal ini terbukti dengan adanya keengganan dalam diri mereka untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, pegawai. Bahkan untuk hanya membicarakannya saja mereka tak mau. Ada semacam trauma yang melekat dalam benak mereka dengan keadaan yang sekarang.

Memang sulitnya kondisi ekonomi sekarang menjadi salah satu penyebabnya. Terkait dengan kondisi ekonomi inilah mereka tidak lagi peduli dengan nasionalisme mereka. Apalah artinya peringatan kemerdekaan, jika kita tak dapat bekerja dengan mudah. Terlebih tingginya harga kebutuhan pokok semakin tak teratasi lagi. Mungkin dua hal itulah yang dijadikan alasan oleh mereka, kenapa mereka tak lagi peduli dengan kemerdekaan bangsanya sendiri.

Jika kita bandingkan kondisi sekarang dengan kondisi tiga belas tahun yang lalu, atau tepatnya saat peringatan lima puluh tahun kemerdekaan republik ini. Maka akan kita dapatkan perbedaan-perbedaan yang tak mungkin dapat kita terima. Lihat saja dari sisi ketersediaan kesempatan kerja. Semakin sulitnya kesempatan kerja yang ada sekarang ini cenderung melunturkan rasa nasionalisme mereka. Bahkan ketika kita berbicara mengenai harga-harga kebutuhan hidup. Untuk harga BBM saja, khususnya premium pada waktu itu tidak lebih dari seribu rupiah. Sehingga bisa dikatakan dalam waktu sekitar sepuluh tahun BBM telah mengalami kenaikan harga dengan prosentase enam ratus persen. Sungguh sebuah angka yang sangat fenomenal.

Belum lagi ketika warga harus memenuhi kebutuhan pokok yang lainnya. Pangan utamanya, mereka tak mampu lagi untuk memikirkan apa arti nasionalisme bagi mereka jika harus membeli beras dengan harga yang sangat tinggi. Maka pantaslah jika mereka tak lagi mau mengurusi hal-hal yang bersifat kenegaraan. Karena bagi mereka mempertahankan hidupnya dan juga keluarganya lebih berarti ketimbang memikirkan negara yang semakin tak menentu ini.

Maka jangan salahkan warga yang tak lagi peduli dengan nasionalisme. Karena satu langkah mudah untuk mengembalikan semangat nasionalisme mereka adalah dengan membenahi segala kesulitan-kesulitan yang sudah lebih dari sepuluh tahun terus berkepanjangan hingga sekarang. Berikan kemudahan untuk mencari pekerjaan. Dan jangan lupa untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau. Karena dengan kemudahan itu, mereka takkan lagi kesulitan untuk mencari penghidupan bagi keluarganya. Juga terpenuhinya kebutuhan hidup mereka dengan harga-harga yang terjangkau.

Dan bangkitlah semangat Nasionalisme di hari kemerdekaan ini !

Karena dengan bahasa sedikit menggelitik,

Nasionalisme Masih Tertancap Begitu Kuat Dalam Perut Setiap Warga Negara !!!