Monday, January 20, 2020

Puisi-Puisi Ahmad Dzikron Haikal*



 Risalah Negeri Laut


1/
Di atas perahu-perahu yang karam, manusia menuju ke langit hitam. Tubuhnya menjadi pasang, dan gamang. Tampaknya mereka lupa berpesta. Sebab rembulan masih dalam penantian.
2/
Nyi Sentring menyulam senja di bawah bayang-bayangnya, sembari dikitari bangkai ikan dan makanan. Bocah-bocah bermain layang-layang dengan ragu, saat sungai-sungai menjadi pekat, dan sebuah riwayat yang menepi ke arah gelap.
3/
Jika kau gelisah dari segala yang berlalu, sebelum kau bermuara, lihatlah tubuh-tubuh yang tersangkut kayu dari jauh itu. Barangkali sosok bersayap pusara hadir memelu wajah-mu, dibalik tirai dedaunan yang terbentang semu.
4/
Tak ada seorang perempuan yang mampu mengenal diagram tulang. Sebab api membakar seluruh kata-kata yang tertulis dari sebuah puisi. Lantas apakah kau akan kembali dibenakku dengan sebutan perempuan berambut senja?
5/
Ada yang tersembunyi di atas buih-buih yang berdebar, dibalik punggung Mahera burung camar berlarian menghitung debur ombak. Dan aku menghempaskan diri, setelah lama menanti.
6/
Seorang lelaki berpeci melati membawa secangkir matahari sebelum pagi buta, ketika kita terlelap diatas gelombang. Ia kenang masa lampau sembari mengunyah cerita tentang segala kerinduan yang terlarung di samudra pada malam purnama Senin pahing, di dermaga tua.

Semarang, 2018





 

Balada Nyi Sentring


Malam adalah penantian bagi keresahan. Di keremangan, seorang perempuan melukis surga tanpa warna. Tuhan selesai ia tawar. Kedua tangannya menggenggam cahaya yang gemetar. Di balik tubuhnya yang menjulang pusara dari waktu ke waktu dan sosok berjubah kelam di sebuah kolam.

Rembulan meredup, membekap sebuah bambu yang pura-pura bisu. Menjadi pertanda: malam menjalang di kening Nyi Sentring yang tak pernah tengadah. Wajahnya musam. Bintang-bintang meleleh di pelipisnya, menjadi bening ketiadaan.

Nyi Sentring mungkin segumpal tanah. Matanya menggaris kenyataan dengan selendang berwarna keemasan, dan berbisik madu di sepanjang air bergelimang.

Perempuan itu juga sebuah ruang. Tersusun daging yang menets-netes dengan bibir merah membasahi kaki laki-laki. Pada napasnya hidup sebuah kisah, dari nama-nama yang berebut dengan kabut dan lesatan air hujan. Kemudian menjelma takdir yang kehilangan misteri saat tersibak dahi orang mati.

Sejak malam itu, di bulan ketujuh, kisah-kisah ditumpuk di atas helai-helai rambut para nelayan. Dan gulungan ombak mengabarkan: Malam adalah penantian bagi keresahan. Di keremangan, tuhan sudah terbeli.

Semarang, 2018


* Terbit di Harian Suara Merdeka  Edisi Minggu Tanggal 11 Maret 2018.
** Ahmad Dzikron Haikal, lahir di Demak, 7 Mei 1987, dan tinggal di Banyumanik, Semarang. Guru SMP IT PAPB dan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan bahasan dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang ini bergiat di Sastra Malam Jumat Klinik Art. Puisinya terhimpun dalam antologi Negeri Awan (2017), Ketika Tubuhmu Menjadi Mawar (2016), Menenggak Rindu (2016), Monolog Seekor Monyet (2016), Mendengar Angin Berbisik (2016), Baper (2016), Arus Puisi Sungai (2016).