Puisi-puisi Dadang Ari Murtono ini dimuat di Harian Suara Merdeka edisi Minggu 3 September 2017
murdaningrum
ia tugur
untuk lelaki itu
semenjak pulau
masih muda
dan dewa-dewa gemar
menabur manik mani
disembarang benda
ia tahu
telaki itu tahu
“ini memang
takdir yang bocor,” gumamnya
maka
disiapkannya sepuluh pintu
sebentang
telaga dengan bidadari yang dikutuk menjadi tua
juga sebuah
tebakan sedarhana
tentang
kelam yang bukan malam
tentang terang yang
bukan siang
lelaki itu
akan tiba
dari koripan; tumpukan
sampah yang
terbawa angin,
dengan baju
dikoyak ranting
lelaki itu
akan menempuh jalan menuju
matahari mati
“namaku banjaransari
dan aku hampir gila mencarimu”
perempuan
itu tertawa
ía tahu lelaki itu
berdusta
ia pura-pura
tak mengerti
ada, memang,
yang lebih baik begitu
“sesungguhnya
aku yang gila menunggum”
patih setama
telah ia ikuti raja
yang kekurangan hamba itu
dan ia
gutatkan mata pedang ke pohon dan padas
seperti
rnanusia pertama
yang membagi nama-nama
seseorang,
satu dan 300 anggota rombongan
mula-mula yang ia
bawa, bergumam, “ía yang membelah hutan
ia yang
membangun kampung-kampung,
ia yang
mendatangkan para penghuni awal
dan kenapa
bukan kepadanya kita berbaiat?”
malam itu
langit rendah
dan sang
raja bermimpi
tentang
sepasang meriam
keesokan
paginya
Ia minta sang patih
untuk mencari
“hamba tak tahu mesti mulai dari mana,” ia keberatan
tapi titah adalah
titah
ia pergi
dan 40 hari kernudian
ia ubah dirinya sendri
juga diri istrinya
jadi
sepasang meriam
“ki patih, ki patih,
sampai
sebatas apa kesetiaan seorang hamba sebenarnya?
ia tak lagi mampu mendengar pertanyaan itu
banjaransari
ia tidak
berkata “tak ada lagi’
ketika jalan sampai ke penghabisan
dan seekor semut terlindas
dan cuaca berubah ungu
ia memikirkan
arti hutan yang tak tejamah
puisi yang seperti sia-sia
lelaki yang terus menulis
juga sepasang beringin kembar penuh hantu
ia menunggu
ia tahu, apa yang tampak tak ada
hanyalah apa yang belum ia paharni
nyi setomi
istirahatlah nyi, dalam
badan badam besi
setetah ini para lelaki akan menghamili
benda mati, para perempuan bercinta
dengan binatang, langit merendah,
bumi
meninggi, dan seseorang menulis
sebait
puisi penuh bisa yang akan membunuh
dirinya sendiri
istirahatiati nyi
dunia tidak akan sama lagi
cinta tak tebih kata lain bagi
sakit dan khianat
dan kita barangkali tak lagi
menemukan alasan untuk bahagia
***
* Dadang An Murtono, lahir
dan tinggal di Mojoketto, Jawa Timur. Buku ceritanya
yang sudah terbit Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitirnu (2015). Buku puisinya
Ludruk Kedua (2016) Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan
terilbat dalam kelompok suka jalan.
No comments:
Post a Comment