Risalah Negeri Laut
1/
Di atas perahu-perahu yang karam, manusia menuju ke langit
hitam. Tubuhnya menjadi pasang, dan gamang. Tampaknya mereka lupa berpesta. Sebab
rembulan masih dalam penantian.
2/
Nyi Sentring menyulam senja di bawah bayang-bayangnya,
sembari dikitari bangkai ikan dan makanan. Bocah-bocah bermain layang-layang
dengan ragu, saat sungai-sungai menjadi pekat, dan sebuah riwayat yang menepi
ke arah gelap.
3/
Jika kau gelisah dari segala yang berlalu, sebelum kau
bermuara, lihatlah tubuh-tubuh yang tersangkut kayu dari jauh itu. Barangkali
sosok bersayap pusara hadir memelu wajah-mu, dibalik tirai dedaunan yang
terbentang semu.
4/
Tak ada seorang perempuan yang mampu mengenal diagram
tulang. Sebab api membakar seluruh kata-kata yang tertulis dari sebuah puisi. Lantas
apakah kau akan kembali dibenakku dengan sebutan perempuan berambut senja?
5/
Ada yang tersembunyi di atas buih-buih yang berdebar,
dibalik punggung Mahera burung camar berlarian menghitung debur ombak. Dan aku
menghempaskan diri, setelah lama menanti.
6/
Seorang lelaki berpeci melati membawa secangkir matahari
sebelum pagi buta, ketika kita terlelap diatas gelombang. Ia kenang masa lampau
sembari mengunyah cerita tentang segala kerinduan yang terlarung di samudra
pada malam purnama Senin pahing, di dermaga tua.
Semarang, 2018
Balada Nyi Sentring
Malam adalah penantian bagi keresahan. Di keremangan,
seorang perempuan melukis surga tanpa warna. Tuhan selesai ia tawar. Kedua tangannya
menggenggam cahaya yang gemetar. Di balik tubuhnya yang menjulang pusara dari
waktu ke waktu dan sosok berjubah kelam di sebuah kolam.
Rembulan meredup, membekap sebuah bambu yang pura-pura bisu.
Menjadi pertanda: malam menjalang di kening Nyi Sentring yang tak pernah tengadah.
Wajahnya musam. Bintang-bintang meleleh di pelipisnya, menjadi bening
ketiadaan.
Nyi Sentring mungkin segumpal tanah. Matanya menggaris
kenyataan dengan selendang berwarna keemasan, dan berbisik madu di sepanjang
air bergelimang.
Perempuan itu juga sebuah ruang. Tersusun daging yang
menets-netes dengan bibir merah membasahi kaki laki-laki. Pada napasnya hidup
sebuah kisah, dari nama-nama yang berebut dengan kabut dan lesatan air hujan. Kemudian
menjelma takdir yang kehilangan misteri saat tersibak dahi orang mati.
Sejak malam itu, di bulan ketujuh, kisah-kisah ditumpuk di
atas helai-helai rambut para nelayan. Dan gulungan ombak mengabarkan: Malam
adalah penantian bagi keresahan. Di keremangan, tuhan sudah terbeli.
Semarang, 2018
* Terbit di Harian Suara Merdeka Edisi Minggu Tanggal 11 Maret 2018.
** Ahmad Dzikron Haikal, lahir di Demak, 7 Mei 1987, dan
tinggal di Banyumanik, Semarang. Guru SMP IT PAPB dan mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Pendidikan bahasan dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang
ini bergiat di Sastra Malam Jumat Klinik Art. Puisinya terhimpun dalam antologi
Negeri Awan (2017), Ketika Tubuhmu Menjadi Mawar (2016), Menenggak Rindu
(2016), Monolog Seekor Monyet (2016), Mendengar Angin Berbisik (2016), Baper
(2016), Arus Puisi Sungai (2016).