Friday, July 25, 2008

Lima Ratus Perak Buat Opal

Setiap kali melakukan perjalanan selalu ada banyak kejadian yang aku alami. Dari kabar-kabar ringan, gosip bahkan sampai berita-berita politik yang masih hangat dibicarakan. Tak hanya itu, komentarpun meluncur dari orang-orang yang aku temui. Lalu lalang pedagang asongan pun turut menghiasi lorong-lorong bus setiap kali berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, baik di terminal maupun di halte-halte yang ada. Para pengamen turut juga berkompetisi dalam mencari rizqi-Nya.

Siang yang cukup menyengat. Bahkan kami yang ada dalam bus AC antar kota dalam propinsi masih tetap berkeringat. Terdengar riuh percakapan orang-orang yang ada di dalam bus. Ada yang berbincang dengan orang yang ada di sebelahnya, tak peduli apakah mereka saling kenal atau bahkan tak pernah bertemu sebelumnya. Ada juga yang bergumam karena bus tak segera melanjutkan perjalanan, sedangkan cuaca benar-benar tak bersahabat. Ya, cuaca benar-benar tak bersahabat. Aku sendiri merasakan peluh yang berleleran di punggung dan dada, hingga kemeja yang kukenakan pun basah olehnya.

Kali ini kembali seorang pedagang asongan membagikan jajanan kepada setiap penumpang yang ada dalam bus. Bukan membagikan dengan cuma-cuma. Karena dia juga memberitahukan bahwa bagi yang berminat cukup membayar dengan seribu rupiah saja. Ada banyak cara yang dilakukan oleh pedagang asongan dalam menawarkan dagangannya. Dan itulah salah satu cara yang ditempuh. Tak hanya itu, karena ada juga pedagang yang menjajakan buku-buku kecil. Kamus ringkas bahasa inggris untuk sekolah dasar, juga buku-buku kumpulan aneka resep masakan.

Aku sendiri sedikit heran dengan bus yang aku tumpangi ini. Entah kenapa tak juga melanjutkan perjalanan. Padahal mungkin hampir dua puluh menit bus berhenti pada halte ini. Seiring dengan keherananku dan mulai hilangnya kesabaran yang memang tersisa tinggal sedikit, muncul seorang anak laki-laki dari pintu depan bus.

Dengan menenteng sebuah gitar kecil bersenar tiga, dia masuk dan berdiri di depan penumpang yang duduk di bangku paling depan. Seperti biasa, sedikit basa-basi sebagai kata permisi yang tak terdengar olehku, kemudian mulai memainkan gitarnya. Irama yang dimainkan tak sepenuhnya aku kenal. Entah lagu apa yang sedang dimainkannya. Karena irama yang dihasilkannya pun jelas-jelas sumbang. Karena gitarnya yang senarnya hanya berjumlah tiga, belum tentu juga melodinya diatur dengan baik. Namun meski tanpa kudengar suaranya yang menyanyikan sebuah lagu, lama-kelamaan akhirnya kutemukan juga lagu apa yang sedang di lagukan. Ya, sebuah lagu beraliran campursari berjudul Cucak Rowo, begitu lirih aku dengar. Sebuah lagu yang berisi sindiran kepada orang-orang tua yang menikah dengan anak gadis.

Aku tak peduli dengan lagu apa yang dinyanyikan bocah tersebut. Namun justru yang menarik perhatianku adalah, kenapa bocah ini tak terdengar suaranya olehku. Kenapa juga dia tidak sekolah? Mungkin dia benar-benar merasa haus sekali ketika sedang mengamen dalam bus yang aku ini. Atau mungkin malah dia belum sarapan sejak pagi? Itulah sebuah pertanyaan yang tak kutemukan jawabnya. Dan andai saja dijawab, mungkin, itu salah satu alternatifnya. Namun untuk pertanyaan kenapa dia tidak sekolah? Sedangkan sekarang adalah jam sekolah. Kembali satu tanya yang tak boleh sembarangan untuk memberikan alternatif jawabannya.

Anganku mulai lagi bersenyawa dengan gagasan-gagasan yang sudah pernah tergali dalam diskusi kajian dan belum sempat tertuang ke dalam catatan-catatan. Karena semua yang kualami pagi ini berkait dengan isu sentral yang akan diangkat dalam kajian dan advokasi pada kehidupan anak jalanan. Itulah program yang baru saja digagas dalam rapat koordinasi sebuah lembaga kemahasiswaan yang aku ikuti. Isu yang sangat menarik dan diharapkan akan memberikan kontribusi pada upaya advokasi dan pendampingan anak jalanan.

Begitu asyiknya aku berangan tentang apa yang akan aku tuangkan pada laporanku nanti, sampai-sampai aku tak menyadari ketika anak tersebut meminta uang kepadaku. Tak seperti pengamen-pengamen lain, yang meminta uang dengan sedikit paksaan kepada penumpang yang enggan memberikan uang. Anak itu malah seolah tak berusaha meminta kepada penumpang yang memang tak ingin memberikan uang kepadanya. Dan begitu aku sadar dia sudah tidak ada di depan. Dia telah melewati barisan tempat dudukku. Kulongokkan pandanganku ke belakang, dia telah lewat beberapa baris di belakangku. Terus ku amati, dan entah kenapa tak banyak orang yang memberikan uang receh kepadanya. Begitu dia selesai mengajukan telapak tangannya pada barisan paling belakang, dia segera turun dari bus yang aku tumpangi.

Benar-benar tak habis pikir dengan apa yang baru saja ku lihat. Betapa kecilnya kepedulian orang zaman sekarang. Dengan melihat kesenjangan sosial di hadapannya saja mereka enggan untuk memberikan sesuatu kepada yang berhak. Ah sudahlah, mungkin memang baru itu rizqi untuknya. Tak selang berapa lama akhirnya bus melanjutkan perjalannya. Lalu lintas yang semakin padat, terus diterobos tanpa toleransi kepada kendraaan-kendaraan kecil seperti sepeda motor, bahkan becak dan sepeda ontel. Supir bus terus mengendari dan melajukan bus dengan sedikit tergesa. Entah apa yang hendak dikejarnya.

***

Hari telah berganti, namun rutinitas yang aku jalani masih tetap sama dengan hari-hari sebelumnya. Yaitu menjalani perjalanan untuk sampai ke tempat kuliah. Meski aku sudah kuliah, tapi aku harus tetap pulang ke rumah. Tak diijinkan aku untuk mengambil kos di dekat kampus. Itulah keputusan bapakku. Dan aku tak mungkin membantahnya. Kali ini perjalananku sedikit berbeda. Bukan karena aku memakai sepeda motor atau mungkin mobil, karena itu jelas tidak mungkin. Tapi hanya karena bus yang aku tumpangi sedikit berbeda dengan bus yang aku tumpangi kemarin.

Memang armada bus yang sekarang berbeda dengan armada bus yang kemarin. Dan ini lebih dibuktikan dengan perjalanan yang lebih cepat. Meski tetap saja selalu berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, setiap kali sampai di terminal atau halte pemberhentian bus. Dan lalu lalang pedagang asongan juga para pengamen masih menghiasi setiap perjalanan bus antar kota dalam propinsi yang melintas. Meski bagaimanapun juga akhirnya perjalanan terasa lebih cepat.

Pada kesempatan ini entah kenapa aku ingin sekali membaca berita-berita yang ada di koran. Dan akhirnya aku putuskan untuk membeli sebuah koran harian lokal yang terbit di wilayah kampusku berada. Kususuri setiap jengkal halaman dengan membaca secara singkat berita-berita yanga ada. Mulai dari haedline yang berisi berita politik seputar pilkada dan segala sesuatu yang turut meramaikannya, sampai berita-berita ringan yang disajikan koran tersebut.

Namun baru sampai pada halaman kedua, disuguhkan sebuah berita yang cukup menarik perhatianku. Tak biasanya aku tertarik untuk membaca berita kriminal. Dan kali ini aku benar-benar ingin membaca sebuah berita dengan judul Seorang Bocah Ditemukan Tak Bernyawa di Belakang Kios Terminal. Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutanku kali ini. Karena begitu aku mencermati foto yang ada dalam koran tersebut, ternyata korban yang ditemukan tersebut adalah bocah yang mengamen dalam bus yang aku tumpangi kemarin.

Terus kususuri kata demi kata yang ada dalam berita itu. Akhirnya kutemukan juga apa penyebab kejadian tersebut. Dalam berita disampaikan bahwa bocah yang diketahui bernama Nouval yang sering dipanggil Opal, dan berusia sebelas tahun itu, meninggal karena kekerasan yang dilakukan oleh seorang preman yang berkuasa di terminal kota tersebut. Belakangan diketahui bahwa setiap anak jalanan yang mengasong dan mengamen harus menyetor sejumlah uang kepada preman tersebut setiap hari. Dan pada hari nahas itu Opal tak bisa memenuhi permintaan kepala preman tersebut. Tak lain adalah karena pada waktu itu Opal tak banyak mengumpulkan uang. Bahkan untuk makan sehari saja tak cukup. Akhirnya dia dihajar oleh preman terminal yang terkenal sadis itu.

Benar-benar yang tak bisa aku terima dengan akal sehatku. Karena rasanya baru saja aku bertemu dengannya dan mendengarkan genjrengan gitarnya yang terdengar sumbang. Dan semua itu adalah kejadian kemarin. Kemarin ketika Nouval atau Opal mengamen dalam bus yang aku tumpangi dan aku tak memberikannya uang. Kemarin ketika aku berangan tentang kenapa dia tidak sekolah, tentang kenapa suaranya begitu lirih dan tak terdengar.

Itulah kejadian kemarin yang tak mungkin akan kembali lagi. Andaikan saja kemarin aku turut memberikan uang kepadanya, lima ratus perak saja, mungkin saja ceritanya akan berbeda dengan apa yang aku herankan sekarang. Atau andaikan saja kemarin aku memberikan minuman bekalku yang selalu kubawa dalam tasku, mungkin dia akan mengamen dengan suara lebih keras dan mungkin juga, akan memperoleh uang lebih banyak lagi. Andaikan saja. Andaikan saja semua itu aku lakukan kemarin. Tapi semuanya sudah berlalu. Opal pun sudah tiada, meninggal dalam upaya mempertahankan hidupnya. Opal yang hidupnya lebih mulia dibandingkan dengan pejabat yang suka memakan yang bukan haknya. Opal yang lebih mulia dari pemimpin yang lupa dengan rakyatnya.

Kututup koran yang ada di tanganku, aku kembali mengevaluasi diri sendiri. Betapa diri ini masih begitu sombong dengan keadaan di sekitarku. Aku yang masih begitu angkuh dengan kenyataan sosial yang benar-benar ada di hadapanku. Aku yang begitu angkuh dengan tak memberikan sedikit uang untuk anak yang sedang berjuang mempertahankan hidup. Dan dari sana membangkitkan semangat dalam diri sendiri untuk tidak lagi sombong dengan orang yang di bawah kita. semangat untuk merubah diri agar tidak lagi angkuh dengan orang-orang yang secara sosial dan ekonomi tak seberuntung seperti kita.

Dengan memejamkan mata seraya berdoa untuk Opal alias Nouval yang semoga syahid dalam mempertahankan hidupnya. Yang dengan semangatnya ada seberkas cita-cita untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik.

***

Kudus, 20 Juni 2008

2 comments:

Ms.silvana said...

kadang memang penyesalan selalu datang belakangan bukan???
bahkan bukan kadang tetapimemang penyesalan selalu disajikan sebagai hidangan penutup.
Opal meninggal bukan karena kamu atau penumpang lain tidak memberikan uang recehan, Opal meninggal karena Tuhan memang telah menentukan waktunya untuk dia mengakhiri perjalannya di dunia dan melanjutkannya di alam yang lain.
hanya saja memang Tuhan menghendaki Opal untuk meninggal dengan cara seperti itu.

BLOGNYA LIA said...

Jadi inget klo lg plg ke jepara. Aku jg naik bus. Tapi bus biasa, ga ber AC. iya emg bnyk bgt pengamen2 kecil di bus.
Mungkin klo bs memilih, opal jg ga ingin jd pengamen kyk gt.
semoga kondisinya skrg di alam sana lbh baik. Amien.....